TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium dan bukan merupakan suatu gejala intrakranial.1
Terdapat beberapa penjelasan dari definisi tersebut sebagai berikut2,3
:
1. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
2. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.
3. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam.
4.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau
lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, terdapat kemungkinan lain
misalnya infeksi susunan saraf pusat, atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam. 3
b. Etiologi
Etiologi kejang demam sampai saat ini
belum jelas diketahui, akan tetapi umur
anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran penting
yakni 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam sebelumnya pada
masa kecilnya. Hal ini diduga dikaitkan dengan batas ambang kejang anak.
4, 6
Semua jenis infeksi bersumber di luar
susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam.
Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran
pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut,
gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi saluran kemih. 1,2,5
c. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam
yaitu lipoid dan permukaan luar
yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron
terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan
sel.7,8 Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan patofisiologi
dari membran sendiri.7
Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh terutama kenaikan
suhu tubuh yang terlalu cepat dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat sehingga terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan perantara “neurotransmitter” dan terjadi eksitasi sel
nueron yang berlebihan atau kejang.
Suatu
studi lain mengungkap bahwa sitokin pro-inflamasi, faktor spesifik umur, dan
penyebab dasar demam memiliki peranan tersendiri dalam mencetuskan bangktan
pada kejang demam. Sitokin pro-inflamasi dilepaskan sebagai respon tubuh
terhadap adanya kerusakan sel dan infeksi seperti interleukin-1β
(IL-1β) merupakan jens sitokin yang bertindak sebagai pirogen menyebabkan demam
dan sitokin ini secara empiris memiliki peranan proses kejang suatu penyakit.3,5
Selain
itu, sitokin pro-inflamasi juga mempengaruhi kestabilan neuronal, dan mampu
mengubah transmisi sinaptik pada proses kejang. IL-1β bahkan dikatakan dapat
menyebabkan kejang spontan, meskipun tanpa adanya hipertermia. Peningkatan
jumlah IL-1β dapat memicu langsung aktivitas epileptik, dan pemberian antagonis
reseptor IL-1β memediasi aksi antikonvulsan. Peningkatan produksi IL-1β telah
ditemukan secara spesifik dalam cairan serebrospinal pada anak dengan kejang
demam.3,5
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya dapat disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat. 7,8
Tiap
anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38 derajat celcius, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 derajat celcius.7,8
d. Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter anak Indonesia
(IDAI) tahun 2004, kejang demam dapat dibagi menjadi dua tipe anatar lain
sebagai berikut.3
- Kejang
Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), atau KDS
- Kejang
Demam Kompleks (Complex febrile seizure), atau KDK
Kejang
Demam Sederhana atau disebut juga dengan simple
febrile seizure atau KDS adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang
dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik
dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. 3
Kejang Demam Kompleks atau complex
febrile seizure atau KDK adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut
ini. 3
- Kejang
lama > 15 menit
- Kejang
fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang
atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama
adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam.3 Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial.3 Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.3
Menurut
Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi dua : 2,9
1 . Kejang demam sederhana
a)
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan
& 4 tahun
b)
Kejang berlangsung hanya sebentar saja,
tak lebih dari 15 menit
c)
Kejang bersifat umum, frekuensi kejang bangkitan
dalam 1 tahun tidak > 4 kali
d)
Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah
timbulnya demam
e)
Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah
kejang normal
f)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan
2
. Epilepsi yang diprovokasi demam
a)
Kejang lama dan bersifat lokal
b)
Umur lebih dari 6 tahun
c)
Frekuensi serangan lebih dari 4 kali /
tahun
d) EEG
setelah tidak demam abnormal
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kejang demam berulang antara lain: 1,3
1.
Usia < 15 bulan saat kejang demam
pertama
2.
Riwayat kejang demam dalam keluarga
3.
Kejang demam terjadi segera setelah mulai
demam atau saat suhu sudah relatif normal
4.
Riwayat demam yang sering
5.
Kejang pertama adalah kejang demam
kompleks
Perbedaan
kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam.
Epilepsi terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang
mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba. Penderita
epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang rendah terhadap
cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan gejalanya beraneka
ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia mengalami stres, jiwanya
tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.1,3
e. Manifestasi Klinis
Serangan kejang pada kasus kejang demam
pada umunya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik dan umumnya kejang dapat berhenti sendiri. Anak denga kejang demam akan
terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit setelah bangkitan
tanpa adanya kelainan neurologik. 2,5
Gejala yang timbul saat anak
mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam
tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang
tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang
dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak.
Kontraksi terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis
atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan cederung jatuh apabila
dalam keadaan berdiri saat bangkitan. 2,5
Postur
tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama
10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan
berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit,
gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau
tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan
kulitnya kebiruan. 2,5
f. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan
secara klinis ataupun dengan menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat
menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut
pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi struktural
pada sistem saraf. Beberapa hal yang perlu dicari saat melakukan pemeriksaan
pada pasien dengan kejang demam antara lain;
- Anamnesis5,6
- Waktu
terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- Sifat
kejang (fokal atau umum)
- Bentuk
kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran
sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
- Riwayat
demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Menentukan
penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat
kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau
epilepsi)
- Riwayat
gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Riwayat
trauma kepala
2.
Pemeriksaan fisik5,6
- Tanda
tanda vital terutama suhu tubuh
- Manifestasi
kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah
atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur
otak.
- Kesadaran
tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya
negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid.
- Pada
kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol
menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan
oleh pendarahan subaraknoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan
kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala
atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat
anestesi pada ibu.
- Terdapatnya
stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan korteks serebri.
- Ditemukannya
korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus
dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok –
kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
- Transluminasi
kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan
umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
- Pemeriksaan
untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
- Pemeriksaan
refleks patologis
- Pemeriksaan
tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
3.
Pemeriksaan laboratorium1,3,5
a. Darah
lengkap, elektrolit, glukosa darah
b. Pemeriksaan
fungsi hati dan ginjal
c. Kadar
TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS à meningkat pada
ensefalitis akut/ensefalopati.
4. Pemeriksaan
penunjang lainnya1,2,3,5
a. Lumbal
Pungsi à
curiga meningitis, umur kurang dari 12 bulan diharuskan dan umur di antara
12-18 bulan dianjurkan.
b. EEG
à
tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan.
c. CT-scan
atau MRI tidak dilakukan pada KDS yang terjadi pertama kali, akan tetapi dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami KDK untuk menentukan kelainan
struktural berupa kompleks tunggal atau multipel.
g. Penatalaksanaan
Penatalaksaan kejang demam difokuskan pada
4 hal berikut, yakni 2,3,4,5,7
1. Mengatasi
kejang
2. Pengobatan penunjang
dan simtomatis
3. Memberikan
pengobatan rumatan
4. Mencari dan
mengobati penyebab demam
1.
Penatalaksanaan saat Kejang 2,3
Umumnya
kejang berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Jika masih kejang diberikan diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kg.bb iv perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit diberikan dalam waktu
3-5 menit, dosis maksimal 20 mg. Dapat juga digunakan diazepam per
rektal dengan dosis diazepam rektal ialah 0,5-0,75 mg/kgBB atau
diazepam per rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan <
10 kg dan 10 mg jika berat badan > 10 kg. Jika setelah pemberian diazepam
per rektal kejang belum berhenti, dapat diulang dengan
dosis sama setelah selang waktu 5 menit. Tanda-tanda
depresi pernapasan diawasi ketika memberika obat-obatan golongan tersebut.
Jika anak masih kejang, dapat
diberikan fenitoin intravena 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit
atau < 50 mg/menit. Jika kejang berhenti diberikan dosis rumatan fenitoin yakni
4-8 mg/kgbb/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika masih belum berhenti, pasien
harus dirawat di ruang perawatan intensif.
2.
Pengobatan Penunjang dan Simptomatis2,4,5
Pengobatan penunjang
dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
memberikan pengobatan yang sesuai. Posisi kepala pasien dimiringkan saat
terjadi kejang untuk mencegah terjadinya aspirasi. Pada demam, pembuluh darah
besar akan mengalami vasodilatasi, sedangkan pembuluh darah perifer akan
mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi digunakan karena
pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga
menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Selain
memberika kompres hangat pemberian antipiretik disarankan pada pasien kejang
demam dengan febris.
3. Pengobatan
rumat/pencegahan/profilaksis 1,3,7
Pengobatan
rumatan diberikan jika:
1.
Kejang lama > 15 menit
2.
Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya paresis
Todd, cerebral palsy, retardasi
mental, hidrosefalus.
3.
Kejang fokal
dipertimbangkan
jika :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih
dalam 24 jam
2. Terjadi pada bayi < 12 bulan
3. Kejang demam 4 kali/tahun
Jenis
pengobatan rumatan (profilaksis) dibagi menjadi dua yaitu,
a. Profilaksis
Intermiten
Untuk
mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam diberikan
obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak
selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan
dosis 10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari (tidak > 5 kali sehari) atau
ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam
asetil salisilat tidak dianjurkan terutama pada usia < 18 bulan karena
risiko sindrom Reye.
Antikonvulsan
yang dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang demam ialah diazepam. Diazepam oral 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan risiko
berulangnya kejang demam pada 30% - 60 % kasus, begitu pula diazepam rektal 0,5
mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38.5ºC. Profilaksis intermitten ini
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam
sedehana sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
b. Profilaksis
Jangka Panjang
Profilaksis
jangka panjang brtujuan untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik yang stabil
dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Lama pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas
kejang; kemudian dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan. Obat yang dipakai
untuk profilaksis jangka panjang ialah fenobarbital dengan dosis dosis 3-4
mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang ialah
perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan
kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur. Sodium valproat / asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
4. Mencari dan Mengobati Penyebab
Demam
Penyebab dari
kejang demam baik sederhana maupun kompleks paling sering berasal dari infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik
yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara teoritis
pada anak dengan kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya
dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor
infeksi di dalam otak misalnya meningitis
h. Prognosis
1.
Kemungkinan
mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan
pada anak sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan sebelumnya.
Perkembangan mental dan neurologis sebagian besar tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Pada penelitian retrospektif dilaporkan bahwa kelainan
neurologis setelah terjadinya kejang demam terjadi pada sebagian kecil kasus,
terutama pada kasus dengan kejang lama atau kejang demam berulang baik fokal
maupun umum.2,6
2.
Kemungkinan
mengalami kematian
Kematian karena kejang demam hingga saat ini belum
pernah dilaporkan.2
3.
Kemungkinan
berulangnya kejang demam
Kejang demam dapat
berulang pada beberapa kasus. Rekurensi kejang demam setelah episode kejang
pertama sebesar 30-40% secara keseluruhan, dan meningkat menjadi 50% pada kasus
kejang demam pada anak usia kurang dari 1 tahun. Kekambuhan terjadi biasanya
dalam waktu 12 bulan.4,6 Dari beberapa penelitian besar, disimpulkan
terdapat beberapa faktor risiko terjadinya rekurensi kejang demam, sebagai
berikut;4,6
a.
Riwayat kejang
demam pada keluarga, terutama pada generasi pertama.
b.
Umur kurang dari 1
tahun.
c.
Suhu yang rendah
(< 39oC) pada saat terjadinya kejang demam pertama.
d.
Cepatnya kejang
setelah muncul demam.2,3,5,6,7
4.
Kemungkinan
terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain
adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Beberapa faktor risiko menjadi
epilepsi, adalah:2,6
a.
Kelainan
neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, misalnya
cerebral palsy dan retardasi mental.
b.
Kejang demam
kompleks.
c.
Riwayat epilepsi
pada orangtua atau saudara kandung.2
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
meningktkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.2
i. Konseling dan Edukasi
Konseling dan
edukasi diberikan kepada pihak keluarga terutama orangtua penderita dengan
memberikan informasi mengenai:1,2,6,7
1.
Prognosis dari
kejang demam, di mana umumnya memiliki prognosis baik.
2.
Tidak ada
peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau gangguan intelektual akibat
kejang demam.
3.
Kejang demam kurang
dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan otak.
4.
Risiko kekambuhan
penyakit yang sama di kemudian hari dan cara penanganan kejang.
Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat menggunakan
terapi obat antiepilepsi
Daftar Pustaka
1. Mendonça de Siqueira LF. Febrile Seizures: Update on
Diagnosis and Management.
Rev Assoc Med Bras.2010;
56 (4): 489-92.
2. Mahmoud Mohammadi. Febrile Seizures: Four Steps
Algorithmic Clinical Approach. Iran
J Pediatr.2010; 20(1): 6-15.
3. Suwarba
I Gusti Ngurah Made, Sutriani Mahalini Dewi, Kari I Komang. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unud/RSUP Sanglah.2010:311-315
4. Farrell Kevin, Goldman RD. The Management of Febrile
Seizures. Bc Medical Journal. 2011 ; 53
(6) : 268-273.
5.
Graves RC, Oehler Karen, Tingle LE. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician.2012;85(2):149-153.
6. Syndi Seinfeld, Pellock JM. Recent Research on Febrile
Seizures: A Review. J
Neurol Neurophysiol.2013; 4(4): 1-6.
7.
Ojha AR,
Shakya KN, Aryal UR. Recurrence Risk of Febrile Seizures in Children. J Nepal Paediatr.
2012; 32 (1): 33-36
8.
Gayathri D, Balachandar CS, Chidambaranathan S.
Serum Zinc Levels in Children with Simple Febrile Seizures. International Journal of Current
Medical Sciences. 2015; 5(9):28-34.
9. Hirtz
DG. Febrile Seizures. Pediatrics in Review.1997;18(1)
: 5-9